Di
dalam hukum fiqih Islam ada beberapa faktor yangmenjadi penyebab berubahnya
beberapa hukum pokok seperti diperbolehkannya meringkas shalat yang empat
rakaat menjadi dua rakaat, menjamak shalat dhuhur dan ashar dalam satu waktu,
menjamak shalat maghrib dan isya juga dalam satu waktu, berbuka atau tidak
berpuasa, meninggalkan shalat Jum’at dan lain sebagainya. Di antara
faktor-faktor itu adalah sakit, hujan lebat, perjalanan atau safar, pingsan,
gila, dan lain sebagainya.
Sebagaimana
ibadah wajib lainnya dalam puasa Allah juga memberi keringanan bagi kelompok
tertentu untuk tidak melakukannya dengan konsekuensi menggantinya di hari yang
lain, membayar fidyah, atau gabungan dari keduanya.
Salah
satu kelompok orang yang diberi keringan boleh tidak berpuasa adalah orang yang
sedang melakukan perjalanan atau lebih kaprah disebut musafir.
Di
dalam Al-Qur’an Allah dengan jelas menyatakan hal tersebut dalam firman-Nya:
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa
di anatara kalian yang sakit atau dalam perjalanan maka .” (QS. Al-Baqarah:
286)
Hanya
saja ketentuan bahwa seorang musafir boleh tidak berpuasa memiliki
aturan-aturan main yang tidak disebutkan secara rinci di dalam al-Qur’an.
Aturan-aturan ini perlu diketahui oleh masyarakat muslim agar tak salah dalam
menerapkannya.
Tidak
dipungkiri bahwa tidak setiap muslim benar-benar memahami hal ini. Mereka hanya
memahami bahwa seorang yang sedang bepergian boleh tidak berpuasa, itu saja,
tidak lebih. Maka terjadilah satu perbuatan di mana di pagi hari seseorang
berpuasa lalu membatalkannya karena ia melakukan satu perjalanan dan menyebut
dirinya sebagai musafir. Atau ada seorang yang sejak malam hari sudah berniat
tidak akan berpuasa di esok hari karena akan melakukan perjalanan jauh, pun
dengan pemahaman karena pada hari itu ia sebagai musafir.
Lalu
bagaimana sebenarnya aturan main bagi seorang musafir yang diperbolehkan tidak
berpuasa?
Para
fuqaha (ulama ahli fiqih) menjelaskan masalah ini secara rinci dalam
kitab-kitab mereka. Di antaranya Imam Jalaludin Al-Mahalli menuturkan:
( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ
( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ
وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ
أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ
. ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ
تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ الْمُسَافِرُ وَالْمَرِيضُ صَائِمَيْنِ
ثُمَّ أَرَادَا الْفِطْرَ جَازَ ) لَهُمَا لِدَوَامِ عُذْرِهِمَا . ( فَلَوْ أَقَامَ
) الْمُسَافِرُ ( وَشُفِيَ ) الْمَرِيضُ ( حَرُمَ ) عَلَيْهِمَا ( الْفِطْرُ عَلَى
الصَّحِيحِ ) لِزَوَالِ عُذْرِهِمَا وَالثَّانِي يَجُوزُ لَهُمَا الْفِطْرُ اعْتِبَارًا
بِأَوَّلِ الْيَوْمِ
“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi
seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila
dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama,
bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada
bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa
kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang
membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan
maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak
bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang
yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan
orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka
maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya
untuk tidak berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang
sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih
karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan
keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin
Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014],
juz 2, hal. 161)
Penjelasan
serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya
Mughnil Muhtaj. Hanya saja beliau menambahkan penjelasan:
وَلَوْ
نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ
فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا
“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan
perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati
batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila
tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj
[Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589)
Dari
kedua penjelasan di atas secara rinci dapat diambil kesimpulan aturan main
kebolehan tidak berpuasa bagi seorang musafir sebagai berikut:
1.
Perjalanan yang dilakukan menempuh jarak perjalanan yang membolehkan mengqashar
shalat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal
kilometer yang ditempuh untuk bisa menqashar shalat. Ini bisa dimengerti karena
berbagai dalil yang menuturkan hal ini tidak menggunakan ukuran kilometer tapi
menggunakan ukuran yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni empat
burud yang kemudian dikonfersikan menjadi empat puluh delapan mil menurut
ukuran Hasyimi, dan empat puluh mil menurut ukuran Bani Umayah (Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait:
1980], juz 25, hal. 28-29). Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus: Darul
Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191) secara jelas Dr. Musthofa Al-Khin dan
kawan-kawan mengkonversikan ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan
bilangan 81 kilometer.
2.
Perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk
melakukan suatu kemaksiatan.
3.
Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu subbuh)
telah melewati batas daerah tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia
adalah batas kelurahan. Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh KH. Subhan
Ma’mun, Pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah, Luwungragi Brebes dan Rais
Syuriah PBNU, pada kajian kitab Tafsir Al-Munir di Islamic Center Brebes.
4.
Bila ia pergi setelah terbitnya fajar maka ia tidak diperbolehkan berbuka dan
wajib berpuasa penuh pada hari itu.
5.
Seorang musafir (yang dalam keadaan melakukan perjalanan sebagaimana
syarat-syarat di atas) yang pada waktu pagi hari berpuasa diperbolehkan berbuka
membatalkan puasanya.
6.
Seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat dilarang berbuka (tidak berpuasa).
Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)
Posting Komentar